Tuesday, February 19, 2013

Sastra Angkatan '45

Angkatan '45

Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.
Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia dengan menampilkan sajak-sajak yang bernilai tinggi memberikan sesuatu yang baru bagi dunia sastra tanah air. Bahasa yang dipergunakannya adalah bahasa Indonesia yang berjiwa. Bukan lagi bahasa buku, melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra (Rosidi, 1965: 91). Dengan munculnya kenyataan itu, maka banyaklah orang yang berpendapat bahwa suatu angkatan kesusateraan baru telah lahir. Angkatan ini memiliki beberapa sebutan, yaitu Angkatan ’45, Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Perang, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Sesudah Pujangga Baru, Angkatan Pembebasan, dan Generasi Gelanggang.
Angkatan ’45 adalah angkatan yang muncul setelah berakhirnya Angkatan Pujangga Baru. Angkatan ini terbentuk karena Angkatan Pujangga Baru dianggap gagal menjalankan gagasannya. Pujangga Baru yang semula memiliki gagasan baratisasi sastra Indonesia, nyatanya hanya mentok pada belandanisasi. Dengan kata lain, tokoh-tokoh atau karya-karya seni dan sastra yang diambil sebagai acuan dan sumber inspirasi hanya berasal dari negeri Belanda saja, bukan dari penjuru Barat. Untuk meluruskan persepsi tersebut, muncullah Angkatan ’45 sebagai gantinya.
Keberadaan angkatan ini erat hubungannya dengan Surat Kepercayaan Gelanggang. Konsep humanisme universal menjadi acuan Perkumpulan Gelanggang karena mereka merasa karya-karya yang dibuat oleh Angkatan Pujangga Baru kurang realistis pada masa itu. Angkatan Pujangga Baru yang beraliran romatis dinilai terlalu utopis dan hanya mementingkan estetika. Berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ’45 beraliran ekspresionisme-realistik. Karya-karya yang dihasilkan bergaya ekspresif, menggambarkan identitas si seniman dan juga realistis. Dalam hal ini, realistis berarti fungsional atau berguna untuk masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Angkatan ’45 menganut pendapat seni untuk masyarakat, sementara Pujangga Baru menganut pendapat seni untuk seni.
Tema yang banyak diangkat dalam karya-karya seni Angkatan ’45 adalah tema tentang perjuangan kemerdekaan. Dari karya-karya bertemakan perjuangan itulah amanat yang menyatakan bahwa perjuangan mencapai kemerdekaan tak hanya dapat dilakukan melalui politik atau angkat senjata, tetapi perjuangan juga dapat dilakukan melalui karya-karya seni. Angkatan ’45 mulai melemah ketika sang pelopor, Chairil Anwar, meninggal dunia. Selain itu, Asrul Sani, yang juga merupakan salah satu pelopor mulai menyibukkan diri membuat skenario film. Kehilangan akan kedua orang tersebut membuat Angkatan ’45 seolah kehilangan kemudinya. Akhirnya, masa Angkatan ’45 berakhir dan digantikan dengan Angkatan’50.
 

No comments:

Post a Comment