Angkatan '45
Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya
sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik
dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik.
Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan
merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar.
Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat
Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan
angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati
nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.
Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia
dengan menampilkan sajak-sajak yang bernilai tinggi memberikan sesuatu yang
baru bagi dunia sastra tanah air. Bahasa yang dipergunakannya adalah bahasa
Indonesia yang berjiwa. Bukan lagi bahasa buku, melainkan bahasa percakapan
sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra (Rosidi, 1965: 91). Dengan munculnya
kenyataan itu, maka banyaklah orang yang berpendapat bahwa suatu angkatan kesusateraan
baru telah lahir. Angkatan ini memiliki beberapa sebutan, yaitu Angkatan ’45,
Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Perang, Angkatan Sesudah
Perang, Angkatan Sesudah Pujangga Baru, Angkatan Pembebasan, dan Generasi
Gelanggang.
Angkatan ’45 adalah angkatan yang muncul setelah berakhirnya
Angkatan Pujangga Baru. Angkatan ini terbentuk karena Angkatan Pujangga Baru
dianggap gagal menjalankan gagasannya. Pujangga Baru yang semula memiliki
gagasan baratisasi sastra Indonesia, nyatanya hanya mentok pada belandanisasi.
Dengan kata lain, tokoh-tokoh atau karya-karya seni dan sastra yang diambil
sebagai acuan dan sumber inspirasi hanya berasal dari negeri Belanda saja,
bukan dari penjuru Barat. Untuk meluruskan persepsi tersebut, muncullah
Angkatan ’45 sebagai gantinya.
Keberadaan angkatan ini
erat hubungannya dengan Surat Kepercayaan Gelanggang. Konsep humanisme
universal menjadi acuan Perkumpulan Gelanggang karena mereka merasa karya-karya
yang dibuat oleh Angkatan Pujangga Baru kurang realistis pada masa itu.
Angkatan Pujangga Baru yang beraliran romatis dinilai terlalu utopis dan hanya
mementingkan estetika. Berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ’45
beraliran ekspresionisme-realistik. Karya-karya yang dihasilkan bergaya ekspresif,
menggambarkan identitas si seniman dan juga realistis. Dalam hal ini, realistis
berarti fungsional atau berguna untuk masyarakat. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa Angkatan ’45 menganut pendapat seni untuk masyarakat,
sementara Pujangga Baru menganut pendapat seni untuk seni.
Tema yang banyak diangkat
dalam karya-karya seni Angkatan ’45 adalah tema tentang perjuangan kemerdekaan.
Dari karya-karya bertemakan perjuangan itulah amanat yang menyatakan bahwa
perjuangan mencapai kemerdekaan tak hanya dapat dilakukan melalui politik atau
angkat senjata, tetapi perjuangan juga dapat dilakukan melalui karya-karya
seni. Angkatan ’45 mulai melemah ketika sang pelopor, Chairil Anwar, meninggal
dunia. Selain itu, Asrul Sani, yang juga merupakan salah satu pelopor mulai
menyibukkan diri membuat skenario film. Kehilangan akan kedua orang tersebut
membuat Angkatan ’45 seolah kehilangan kemudinya. Akhirnya, masa Angkatan ’45
berakhir dan digantikan dengan Angkatan’50.
No comments:
Post a Comment