Angkatan Pujangga Baru (1933—1942)
Pada tahun1933, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sultan Takdir
Alisjahbana mendirikan sebuah majalah yang diberi nama Poejangga Baroe. Majalah Poedjangga Baroe menjadi wadah khususnya bagi seniman atau
pujangga yang ingin mewujudkan keahlian dalam berseni. Poedjangga Baroe merujuk pada nama sebuah institusi literer yang
berorientasi ke aneka kegiatan yang dilakukan para penulis pemula. Majalah ini
diharapkan berperan sebagai sarana untuk mengoordinasi para penulis yang hasil
karyanya tidak bisa diterbitkan Balai Poestaka (Purwoko, 2004: 154).
Selain memublikasikan karya sastra, majalah ini juga merintis
sebuah rubrik untuk memuat esai kebudayaan yang diilhami oleh Alisjahbana dan
Armijn Pane. Kelahiran majalah Poedjangga Baroe menjadi titik tolak kebangkitan kesusastraan
Indonesia. S.T. Alisjahbana, dalam artikel Menudju Masjarakat dan
Kebudajaan Baru,
menjelaskan bahwa sastra Indonesia sebelum abad 20 dan sesudahnya memiliki
perbedaan yang didasari pada semangat keindonesiaan dan keinginan yang besar
akan perubahan.
Adapun karakteristik karya sastra pada masa itu terlihat melalui
roman-romannya yang sangat produktif dan diterima secara luas oleh masyarakat.
Pengarang yang paling produktif yaitu Hamka dan Alisjahbana. Hamka, dalam Mengarang Roman, mengatakan Roman adalah bentuk modern dari
hikayat. Roman memperhalus bahasa yang sebelumnya sangat karut marut menyerupai
kalimat Tionghoa sehingga secara tidak langsung roman-roman yang ada mampu
memicu minat baca masyarakat yang awalnya tidak gemar membaca.
Berdasarkan isi cerita, tema-tema yang ada memperlihatkan kecenderungan
para pengarang yang membuat tokoh-tokoh dalam ceritanya berakhir pada kematian.
Pengaruh Barat yang sangat kental pada perkembangan sastra Indonesia dalam
periode Pujangga Baru menghasilkan beberapa perbedaan pandangan dalam kalangan
sastrawan pada saat itu.Sebagai contoh, novel pertama yang diterbitkan majalah ini,
Belenggu, pernah ditolak oleh Balai Pustaka karena dianggap mengandung isu
tentang nasionalisme dan perkawinan yang retak. Dengan alasan didaktis, kedua
isu budaya tersebut dianggap tidak cocok dengan kebijakan pemerintah kolonial.
No comments:
Post a Comment