Wednesday, January 18, 2012

BEST TRIP - Borobudur Temple Compounds

Photo: Close-up of Buddha statueSite: Borobudur Temple Compounds
Location: Indonesia
Year Designated: 1991
Category: Cultural
Criteria: (i)(ii)(vi)
Reason: Borobudur is the world’s largest Buddhist monument and a priceless ancient center for pilgrimage and education in Mahayana Buddhism.
* * *
The world’s largest Buddhist monument draws pilgrims from around Southeast Asia to a remote hilltop in central Java, surrounded by lush green vegetation and ringed by volcanoes—one of which remains active.
Some 1,200 years ago builders carted two million stones from local rivers and streams and fit them tightly together without the aid of mortar to create a 95-foot-high (29-meter-high) step pyramid. More than 500 Buddha statues are perched around the temple. Its lower terraces include a balustrade that blocks out views of the outside world and replaces them with nearly 3,000 bas-relief sculptures illustrating the life and teachings of the Buddha. Together they make up the greatest assemblage of such Buddhist sculpture in the world.
Climbing Borobudur is a pilgrimage in itself, meant to be experienced physically and spiritually according to the tenets of Mahayana Buddhism. As the faithful climb upward from level to level, they are guided by the stories and wisdom of the bas-reliefs from one symbolic plane of consciousness to the next, higher level on the journey to enlightenment.
Borobudur was constructed in the eight and ninth centuries during the golden era of the Sailendra dynasty, which held sway on Java and neighboring Sumatra. This ruling clan came from South India or Indochina and helped to establish Java as a center of Buddhist scholarship and worship.
The magnificent site drew pilgrims for hundreds of years—Chinese coins and ceramics found there suggest that the practice continued until the 15th century. (In fact it has been revived today.)
But Borobudur was mysteriously abandoned by the 1500s, when the center of Javan life shifted to the East and Islam arrived on the island in the 13th and 14th centuries. Eruptions deposited volcanic ash on the site and the lush vegetation of Java took root on the largely forgotten site.
In the early 19th century Sir Thomas Stamford Raffles, British governor of Java, heard of the site and took an interest in having it excavated. While this process revealed Borobudur’s treasures it also triggered a process of decay by exposing them to the elements. Villagers liberated stones for building materials, and collectors removed Buddha heads and other treasures for private and public collections around the world.
Fortunately, the decline of Borobudur was arrested by tighter regulations and one of the most ambitious international preservation projects ever attempted. The “Save Borobudur” campaign was launched in 1968 through the government of Indonesia and UNESCO.
The massive monument’s lower terraces were dismantled and their priceless relief panels were cleaned and treated against weathering. During this process an extensive drainage system was put in place to prevent the erosion that had taken such a toll on the temple. Over eight years a million stones were removed and later reassembled.
The result is that Borobudur remains today what it was 1,200 years ago—a unique treasure to rival any site in Southeast Asia.
How to Get There
Borobudur is about 25 miles (40 kilometers) from Yogyakarta, where many day-trip tours can be booked. Those wishing to visit independently, or stay in Borobudur village outside the park entrance, can travel to the site by bus or taxi.
When to Visit
Though Borobudur teaches Buddhists to look inward, there are fantastic views from the temple over green fields and trees to distant hills and volcanoes—including active Merapi. Sunrise and sunset are particularly special times to be at the site. Weekends tend to be especially crowded.

Wednesday, January 11, 2012

Astrometri

Astrometri adalah cabang dari astronomi yang memusatkan perhatian pada posisi bintang dan benda langit lainnya, jarak dan pergerakan mereka. Sebagian astrometri melibatkan pembuatan tangga jarak kosmik.
Astrometri adalah salah satu sub-bidang ilmu yang paling tua, kembali ke zaman Hipparchus, yang menyusun katalog bintang yang pertama. Hipparchus juga menciptakan skala kecerahan yang masih dipergunakan sampai sekarang. Astrometri modern dirintis oleh Friedrich Bessel dengan 'Fundamenta astronomiae'nya, yang menghitung posisi rata-rata sebanyak 3222 bintang yang diteliti antara 1750 dan 1762 oleh James Bradley.
Selain fungsi pokok menyediakan astronom dengan bingkai referensi untuk melaporkan pengamatan mereka, astrometri juga penting bagi bidang seperti mekanika langit, dinamika bintang dan astronomi galaksi. Astrometri juga merupakan alat mendasar dalam menentukan waktu, yaitu bahwa UTC, yang pada dasarnya adalah waktu atomik, disinkronkan dengan rotasi Bumi yang ditentukan dari pengamatan yang sangat teliti.
Perkembangan-perkembangan dalam astrometri :
  • Sundial efektif dalam mengukur waktu.
  • Astrolabe diciptakan untuk mengukur sudut di langit.
  • Penerapan Astrometri menyebabkan berkembangnya ilmu geometri bola.
  • Pengukuran secara teliti dari gerakan planet oleh Tycho Brahe membuktikan asas Copernican, bahwa Bumi mengelilingi Matahari.
  • sextant secara dramatis memperbaiki pengukuran sudut-sudut di langit.
Astronom mulai meningkatkan ketepatan setting lingkaran di teleskop mereka, yang mengizinkan mereka untuk melakukan metode paralaks secara lebih teliti lagi dalam menentukan jarak ke bintang dekat. Ini adalah astrometri tradisional.
Hal lainnya adalah penggunaan bintang variabel Cepheid untuk mengukur jarak ke galaksi lain. Dengan mengukur variabilitas kecemerlangan Cepheids di galaksi, Edwin Hubble dapat menentukan jarak mereka.
Hubble memakai Cepheid untuk mengetahui dan menyesuaikan jarak dengan pergeseran merah yang diperlihatkan oleh galaksi-galaksi jauh.
Dari 1989 sampai 1993, Badan Antariksa Eropa (ESA) menggunakan satelit Hipparcos dalam melakukan pengukuran astrometrik yang menghasilkan katalog posisi lebih dari satu juta bintang hingga ketepatan 20-30 milidetik busur.

Tuesday, January 3, 2012

Proksima Centauri

Proxima Centauri adalah bintang katai merah yang terletak sejauh 4,2 tahun cahaya (3,97×1013 km) dari Bumi. Bintang ini terletak di rasi bintang Centaurus. Proxima Centauri ditemukan pada tahun 1915 oleh Robert Innes, Direktur Observatorium Union di Afrika Selatan. Bintang ini adalah bintang terdekat dari Matahari, meskipun terlalu redup untuk dilihat dengan mata telanjang. Jaraknya ke bintang terdekat kedua dan ketiga (yang membentuk sistem bintang biner Alpha Centauri) adalah 0,237 ± 0,011 tahun cahaya (15.000 ± 700 satuan astronomi). Proxima Centauri kemungkinan merupakan bagian dari sistem bintang tiga bersama dengan Alpha Centauri A and B.

Monday, January 2, 2012

SUNGAI TERPENDEK DI DUNIA

Objek Wisata Sungai Tamborasi merupakan sungai terpendek di dunia dengan panjang sekitar +20 meter dan lebar +15 meter,Sungai Tamborasi ini terletak +90 km dari kota Kolaka ke arah utara, tepatnya di Desa Tamborasi, Kecamatan Wolo. Untuk menuju Sungai Tamborasi pengunjung bisa menempuh jalan darat ataupun jalan laut +1-2 jam. Sepanjang jalan menuju Sungai Tamborasi, pengunjung juga bisa menikmati keindahan gunung yang mengandung batu marmer. Hulu sungai dimana tempat mata air keluar, mengalir langsung dan berhubungan dengan laut yang berpasir putih membuat Sungai Tamborasi kian mempesona dan sayang untuk dilewatkan keindahannya. Pesona lain dari sungai ini adalah keunikan jenis airnya, dimana Sungai Tamborasi mempunyai Dua macam sumber air, yakni air air dingin yang keluar dari mata airnya langsung, sedangkan air laut yang berbatasan langsung terasa hangat, sehingga pengunjung mempunyai dua pilihan untuk mandi, dengan air hangat atau air dingin.